Ajaran Tasawuf dalam Singiran Tanpa Waton Gus Dur dan
Kontribusinya dalam Pembentukan Pekerti Masyarakat.
Wahyu Widodo
Abstrak
Makalah ini
mengkaji Singiran Tanpa Waton Gus Dur
(STWGD) karya K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang berbentuk singir atau nadhoman. Singir
merupakan“Grammar of poetry and poetry of
grammar” yang disenandungkan dengan rima yang runtut dan padu serta berfungsi
sebagai media dakwah.Metode yang digunakan dalam mengkaji STWGD yaitu metode
hermeneutik sastra dan metode kepustakaan. Hasil kajian menunjukkan bahwa dalam
STWGD terkandung nilai ajaran tasawuf yakni ikhtiar untuk memahami Islam secara
komprehensif yang meliputi penahapan syariat,
thariqat, makrifat, dan hakikat
yang terdiri atas empat anasir (1) kebersihan hati dan pikiran, (2) zuhud
terhadap dunia, (3) kesabaran dan keikhlasan, dan (4) keridhoan dalam menerima kepastiaan Allah. Keempat anasir tersebut
sebagai cikal bakal pembentukan pribadi yang berbudi pekerti yang tumbuh dari
kesadaran diri (kesalehan diri). Kontribusi STWGD dalam pembentukan pekerti
masyarakat berakar dari kesalehan diri yang bertransformasi dan terefleksi
dalam tata nilai di lingkungan masyarakat (kesalehan sosial) yang tecermin
melalui sikap sosial (1) toleransi antarsesama, (2) rukun terhadap sesama, (3)
larangan iri hati terhadap kekayaan tetangga, dan (4) memuliakan
sesama.Terwujudnya kesalehan diri dan kesalehan sosial sebagai tanda pribadi
yang tuntas dan paripurna (Insan Kamil).
Kata kunci:
STWGD, tasawuf, kesalehan diri, kesalehan sosial.
1. PENDAHULUAN
Istilah singiran diserap dari bahasa Arab, yakni Syi’ir yang berarti lagu atau puisi.
Masyarakat Jawa lebih mengenal singir daripada syi’ir. Hal ini terjadi karena kebiasan orang Jawa melafalkan huruf
hijaiyah Ain dengan ngain, misalnya, kata ainun menjadi ngainun. Secara historis,
sulit dilacak mulai kapan singir atau singiran
ini mulai ada. Dalam serat Centhini yang
diciptakan pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono V, istilah singir
sudah muncul. Pada pupuh 321 (sinom) misalnya diceritakan tentang
Sang Adipati Wirasaba yang bernadzar menanggap sulapan Mas Cebolang
setelah putranya lahir dengan selamat. Diungkapkan bahwa pada saat itu penonton sangat banyak, termasuk para
pembantu dan selir sang Adipati. Dikisahkan bahwa Mas Cebolang yang tampan
wajahnya dihias dengan pakaian indah. Pada saat bermain rebana, bernyanyi, bersingir
suaranya merdu, bening
dan mendayu-dayu. Oleh karena itu, banyak wanita yang jatuh hati (Marsono, 2005: ix dalam Kusnadi,
2006:233).
Singir yang membudaya dan memasyarakat
dalam masyarakat Jawa digunakan sebagai media dakwah oleh wali sanga untuk
menyampaikan pesan-pesan keagamaan sehingga ajaran Islam mudah diterima,
dihayati, dan dipeluk oleh masyarakat Jawa pada kala itu. Selain Singir sebagai media dakwah, singir juga berfungsi sebagai instrumen
pembelajaran di pesantren salafiyah untuk memahami pelbagai kitab untuk disingirkan
atau dinadhomkan sehingga para santri lebih mudah menghafal matan (mata
pelajaran). Tradisi singiran sampai
sekarang masih dilestarikan oleh Jami’yah
Nahdhiyah Nahdhalatul Ulama yang berbasis di pedesaan dan perkampungan
melalui pesantren sebagai pelestarinya.
Singir merupakan grammar of poetry ’gramatika dalam sajak’ yang senantiasa
disenandungkan yang syarat akan keindahan, kemerduan, dan keharmonisan serta
didalamya terkandung ajaran dan tatanilai. Konsep ’gramatika dalam sajak’ grammar of poetry and poetry of grammar
yang dicetuskan oleh Jakobson terejawantahkan dalam arti yang sebenarnya dalam singiran meskipun tentu saja Jakobson tidak
pernah mengenal singiran atau nadhoman (Kadarisman, 2010:114).
Kegramatikan singiran terletak dari runtut dan padunya rima yang didendangkan
dengan pola yang tetap dan merdu. Dalam khazanah nadhoman ada ilmu khusus yang membahas pola runtut padunya singir atau nadhom dikenal dengan ilmu arudh.
Singir Tanpa Waton Gus Dur (STWGD)
merupakan singiran yang diciptakan dan disenandungkan oleh K.H. Abdurahman
Wahid (Gus Dur). STWGD berisi ajakan
untuk memahami Islam secara komprehensif dari pendekatan tasawuf dengan empat penahapan
(maqamat, station) yaitu syariat,
thariqat, makrifat, dan hakikat. STWGD
menjadi relevan untuk disuguhkan pada era kekinian karena Islam yang
ditunjukkan akhir-akhir ini adalah Islam yang mementingkan aspek permukaan (syariat) saja atau lebih dikenal dengan pendekatan Islam formalis
yang mengabaikan aspek kedalaman Islam. Kelompok ini seringkali menyalahkan,
menyesatkan, mengkafirkan kelompok Islam lain yang tidak sealiran dengan
mereka. Hal ini terjadi karena mereka hanya melihat Islam dari segi permukaan
saja (syariat), sedangkan kedalaman
Islam yang bersifat esoteris (thariqat, makrifat,
dan hakikat) tidak mereka kaji secara mendalam. STWGD merupakan ajakan
dengan santun dan lantun yang membawa energi kedamaian dan ketentraman bagi
pembacanya serta ajakan untuk mengkaji Islam secara komprehensif yang
didalamnya terkandung ajaran tasawuf.
Kemanunggalan
tasawuf dengan piranti estetika, khususnya piranti sastra, telah membuktikan
bahwa ajaran tasawuf banyak didakwahkan melalui piranti estetika sastra. Hal
ini oleh Braginsky (1998: xiv) disebut dengan istilah 'tasawuf puitik', sedangkan
tasawuf yang ditulis dalam bentuk doktrin kerohanian disebut
sebagai 'tasawuf kitab'. Selanjutnya, Abdul
Hadi W.M. (2001:11) mengatakan bahwa tasawuf puitik merupakan fenomena
universal. Ia tidak hanya fenomena lokal, tidak terbatas hanya lingkungan
tradisi muslim Arab atau Parsi, tetapi juga muncul dalam tradisi masyarakat
lain, seperti Turki, Urdu, Bengali, Cina, Melayu, dan Jawa. Tasawuf
puitik mempengaruhi
gerakan-gerakan sastra modern di luar dunia Islam, di Timur
maupun di Barat. Wahid (1974:29)
mengatakan bahwa untuk menggambarkan dan mengategorisasi rasa ekstasi (jazabah) dalam percobaan mengenal
hakikat dan kebenaran Tuhan (Mystical
ectasy) diungkapkan dalam bentuk baris-baris sajak atau dalam rumus-rumus
tasawuf.
STWGD
merupakan corak khas dari tasawuf puitik yang berbahasa Jawa dan banyak
menggunakan serapan dari bahasa Arab dan bahasa Kawi. Hal ini dipilih sebagai
strategi untuk mensyiarkan ajaran tasawuf yang dikandung dengan menggunakan
strategi kebudayaan (Widodo, 2011). Ajaran tasawuf dalam STWGD merupakan
tasawuf praktik (isyari) bukan
falsafi (hudhuri). Tokoh yang
mengusung tasawuf berorientasi filosofi yaitu Ibnu Arabi, sedangkan tokoh yang
mengusung tasawuf praktik atau tasawuf suni yaitu Al-Ghazali (Salam,
2004:28-29). Dalam istilah Schimmel (dalam Chasanah, 2006:44) tasawuf praktik
disebut dengan mistik kepribadian (mysticism
of personality) dan tasawuf filosofi disebut dengan mistik ketakterhinggaan
(mysticism of infinity). Tasawuf
praktik lebih menitikberatkan pada pengolahan kepribadian individu melalui
serangkaian ajaran dengan praktik tirakat, wirid, dzikir, dan pelbagai macam
tirakat lainya.
Ajaran
adalah praktik-praktik dan ilmu-ilmu tertentu yang diajarkan dalam sebuah
tarekat (Burhani, 2002:37). Ihwal ini tecermin dalam STWGD yang banyak
penekanan pada praktik-praktik laku sufistik, misalnya pembersihan hati dan
pikiran melalui dzikir, riyadhah, dan
suluk. Hal itu juga diperkuat oleh pernyataan
Wahid (1974:29) bahwa watak gerakan tasawuf di negeri ini sedikit sekali
mementingkan pengungkapan keindahan cinta abstrak kepada Sang Pencipta Yang
Maha Pengasih, melainkan hanya mengutamakan pekerjaan ibadat yang dianggap
utama (wirid bentuk ganda awrad). Tasawuf di nusantara memberi
penekanan pada pembentukan nilai-nilai yang dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari dan mementingkan faktor kedalaman rasa (compassion).
Ajaran
tasawuf dalam STWGD merupakan ajaran Islam komprehensif yang menilik dan
memusatkan perhatian pada kesadaran diri pemeluknya. Ketuntasan pemahaman dan
penghayatan Islam yang berpusat pada kesadaran diri ini akan melahirkan pribadi
yang mempunyai budi pekerti yang luhur atau ber-akhlaqul karimah. Pribadi yang berbudi pekerti yang berlandaskan
kesadaran diri secara otomatis akan menjadi pribadi sosial yang mempunyai
kesadaran sosial yang tinggi yang tecermin melalui sikap sosialnya. Ia menjadi
sosok pribadi yang mentransformasikan kesadaran diri (kesalehan diri) menuju
kesadaran sosial (kesalehan sosial). Untuk menjadi manusia yang paripurna
(Insan Kamil) tersebut diperlukan penahapan-penahapan (maqamat, station). Dalam STWGD dikupas dan dirinci anasir-anasir
pembentuk kesadaran diri. Anasir-anasir diri tersebut terefleksikan dalam sikap
sosial yang mencerminkan kebudipekertian dan keakhlaqulkarimahan dari sosok
yang telah tuntas menahapi (salik)
seluruh penahapan.
Atas
dasar tersebut, makalah ini membahas ajaran tasawuf dalam STWGD yang akan
memerikan dan membaur-buraikan anasir pembentuk pribadi yang berkesadaran diri
serta berkontribusi dalam pembentukan pekerti di masyarakat. Dengan ikhtiar
pemerian tersebut setidaknya telah ada upaya yang serius untuk menggali
khazanah STWGD untuk bangsa yang tengah didera dan dikoyak ’akar kepribadiannya’
yang akhir-akhir ini menunjukkan tanda-tanda yang serius. Untuk itu, petuah
Bapak Bangsa sekaligus mantan Presiden Republik Indonesia patut untuk
disenandungkan, dihayati, diresapi, dan akhirnya dilakoni untuk menjadi manusia
yang berbudi pekerti yang berpusat pada kesadaran diri. .
2.
Objek Penelitian
Objek
penelitian berwujud Singiran Tanpa Waton
Gus Dur yang direkam pertama kali oleh Pesantren PETA (Pesulukan Thariqah Agung) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur ketika
Gus Dur memberi sambutan pada acara Haul Akbar Almarhum Hadratusyaikh Mustaqim bin Khusen pada minggu pertama bulan Muharam
tahun 2000. Di penghujung sambutannya, beliau mengajak seluruh jamaah yang
hadir untuk mendendangkan STWGD. Selanjutnya, STWGD secara masif disebarkan
melalui proses perekaman dan penggandaan yang diprakarsai oleh Pondok Pesantren
Lirboyo, Kediri.
Singir ini terdiri dari 16 bait dengan
rincian sebagai berikut bait 1 dan 2 serta bait
16 menggunakan sholawatan
berbahasa Arab dalam penelitian ini tidak dikaji. Yang dikaji dalam penelitian
ini adalah singir yang berbahasa Jawa
yang terdiri atas 13 bait yaitu bait 3 s.d.15.
3. Metode Penelitian
Dalam penelitian digunakan metode hermeneutik sastra dan
kepustakaan. STWGD merupakan objek karya sastra yang digali untuk ditemukan
ajaran tasawuf yang terkandung di dalamnya dan kontribusinya dalam pembentukan
pekerti masyarakat. Oleh karena itu,
metode hermeneutik satra dipilih untuk memahami makna karya sastra
dibalik struktur. Pemahaman makna tidak hanya pada simbol, tetapi memandang
sastra sebagai teks (Endraswara, 2006:42). Penelitian kepustakaan (Library Research) adalah penelitian yang
kegiatannya dilakukan dengan mengumpulkan data dari pelbagai literatur yang
berhubungan dengan objek penelitian. Metode kepustakaan digunakan untuk melengkapi
metode hermeneutik sastra sehingga hasil tafsiran atas teks diperkuat oleh
kepustakaan terkait.
4. Ajaran Tasawuf dalam STWGD
Dalam
dunia tasawuf terdapat istilah seorang penempuh jalan (salikin), Gus Dur sering menyebutnya dengan istilah aspirant. Seorang salik yang menyusuri jalan sufi (the sufi way) melalui penahapan (station, maqamat) penahapan tersebut terdiri atas syariat, thariqat, makrifat, dan hakikat. Dalam STWGD ditemukan dalam
bait IV dan VIII
Aja mung ngaji syariat blaka
(Jangan hanya mengaji syariat saja)
kerana mapan seri
ngilmune
lagu thorekat lan makrifate
uga hakikat manjing rasane
(Karena telah kokoh penahapan ilmunya
Lagu thorikat dan makrifat
Dan juga hakikat masuk ke dalam rasa)
Syariat
dalam STWGD berarti jalan yang bersifat lahiri, hukum fiqh, atau amalan ritual
keagamaan yang dapat dipertunjukkan secara demonstratif, seperti salat, haji,
zakat, dan amalan yang sejenis. Thorekat
atau tarekat, sebagian orang jawa menyebut dengan tirakat berarti laku batin yang bersifat rohani; amalan rohani yang
diamalkan yang mengiringi amalan syariat. Jika syariat untuk membangun
kedisiplinan hidup, tarekat untuk membangkitkan kesadaran dan kematangan
spritual (Chodjim, 2007:228). Makrifat secara leksikal berarti ’mengetahui’, mengetahui
makna tauhid pengesaan yang sejati. Mengetahui zat dan sifat-sifat-Nya dengan
terperinci, juga status ahwal, peristiwa-peristiwa (Jami, 2003:xxvii). Hakikat
merupakan ujung dari semua perjalanan. Di tahap inilah sesorang menemukan
kebenaran sejati, The Absolute Reality,
Kenyataan mutlak (Chodjim, 2007:244).
Dalam
STWGD urutan syariat, thoreqat, makrifat,
dan hakikat tidak semata-mata
pertimbangan rima singir, tetapi pola
urutan yang runtut dan sistematis tentang penahapan dalam ilmu tasawuf. Hal ini
diperkuat dengan larik kerana mapan seri
ngilmune ’karena telah kokoh penahapan
ilmunya’ kata seri berarti urutan
yang beruntut, seri I, seri II , dst yang mengandung penahapan secara urut dan
sistematis. Jadi, penahapan tasawuf dalam STWGD bermula dari syariat, thareqat, makrifat, dan hakikat. Urutan penahapan ini berbeda
dengan penahapan ajaran tasawuf pada umumnya yang mendahulukan hakikat setelah
itu baru makrifat, sedangkan pola urutan dalam STWGD adalah makrifat dan
hakikat.
Penahapan tersebut bermula dari ’luar’ menuju ’dalam’,
dari eksoterik menuju esoteris, dari permukaan menuju ke kedalaman. Seorang
penempuh jalan (salik) tidak boleh
terjebak pada satu station, apalagi
satu station yang paling luar, yaitu syariat. Alasan inilah dalam STWGD pada
bait IV melarang umat Islam berhenti hanya pada tahap (maqam) syariat karena
hanya mampu melihat hal-hal permukaan dan dangkal dengan kutipan lengkapnya
sebagai berikut.
Duh bala kanca pria
wanita
Aja mung ngaji syariat blaka
Gur pinter ndongeng nulis
lan maca
Tembe burine bakal
sengsara
(Wahai semua sahabat pria dan wanita
Jangan hanya mengaji syariat saja
Hanya pandai mendongeng menulis dan membaca
Dibelakang hari akan sengsara)
Selain larangan hanya belajar syariat, juga terkandung
nilai pencapaian (optimalisasi) dari tahap syariat yaitu gur
pinter ndongeng nulis lan maca ’hanya
pandai mendongeng menulis dan membaca’ kecakapan mendongeng, menulis, dan
membaca merupakan simbolik penahapan syariat yang mempelajari hal yang mendasar
sebagaimana anak sekolah dasar belajar mendongeng, menulis, dan membaca.
Manakala sang penempuh jalan (salik)
berhenti di penahapan syariat, Tembe burine bakal sengsara ’dibelakang
hari akan sengsara’. Kesengsaran tersebut bersumber dari kedangkalan pemahaman
dan penahapan yang belum tuntas.
Ajaran
untuk memahami Islam secara komprehensif juga ditemukan dalam bait VII dengan
kutipan lengkapnya sebagai berikut.
ayo sedulur jo
nglalekake
wajibe ngaji sak pranatane
Ngo ngandelake iman tauhide
baguse sangu mulya matine
Ayo saudara jangan melupakan
Kewajiban mengaji dengan seluruh pranatanya
Untuk memperkuat keyakinan ketauhidanya
Sebaiknya bekal (dalam menghadapi) mati dengan mulia
Frasa sak pranatane
’seluruh pranatanya’ mengandung arti keseluruhan penahapan dari syariat sampai
hakikat, sedangkan tujuannya memperkuat ketauhidan kepada Allah (iman tauhide). Jami (2003:xliii-xliv)
membagi ketauhidan menjadi empat macam, yaitu pertama tauhid imani (tauhid berbasis kepercayaan) yakni membenarkan
keesaan Allah atas dasar ayat-ayat Al-quran dan hadis-hadis sahih. Kedua, tauhid ilmi (tauhid berbasis
keilmuan) yakni tauhid yang memanfaatkan basis esoterisme atau yang disebut
juga ilmu al-yaqin. Ketiga, tauhid hali (tauhid berbasis
status-spiritual) yakni jenjang tauhid yang atribut Zat Yang Diesakan sudah
melekat pada pelakunya. Keempat, tauhid
illahi (tauhid berbasis ketuhanan) yakni jenjang tauhid yang Allah sejak zaman
dahulu kala (azal al-azal) telah
menauhidkan diri-Nya sendiri dengan diri-Nya sendiri, bukan dengan penauhidan
selain-Nya. Seoarang penempuh jalan (salik)
diharapkan memahami, melalui, dan meyakini keempat jenjang tauhid tersebut.
4.1 Kesadaran
Diri
Ajaran tasawuf selalu mengolah ’entitas diri’ dan fokus
pada pembinaan kesadaran diri. Tidak akan ada perubahan dalam masyarakat,
kecuali dimulai dari diri-individu dalam masyarakat tersebut. Untuk itu, fokus
kedirian menjadi tema sentral yang dibahas dan dikupas dalam ajaran tasawuf. STWGD
selalu berorientasi, berpusat dan bertumpu pada pengolahan ’diri’ (Self), pada kesadaran diri, pada
kesalehan diri pribadi. STWGD ini mengajarkan untuk menelisik ke dalam, meniti
kedalam diri, memperhatikan bentuk-bentuk kekafiran yang melekat pada dirinya
hal itu tercermin dalam kafire dewe gak
digatekke ’kafirnya sendiri tidak diperhatikan’. Frasa kafire dewe memberi
penekanan pada pentingnya kesadaran diri, bercermin pada diri sendiri untuk
memfokuskan pada ’rumah tangga diri’, maka akan tersibak kekotoran dan
kenajisan yang masih melekat dalam beranda hati dan pikiran sebagaimana larik yen iseh kotor ati akale ’kalau masih kotor hati dan pikirannya’. Ditemukan pada bait V sebagai berikut.
akeh kang apal Quran
Hadise
seneng ngafirke marang
liyane
kafire dewe gak digatekke
yen iseh kotor ati akale
(Banyak yang hafal Quran dan Hadist
Senang mengkafirkan orang lain
Kafirnya sendiri tidak diperhatikan
Kalau masih kotor hati dan pikirannya)
Pengkafiran atas orang lain tersebut terjadi karena masih
dangkalnya pemahaman, masih terjebak pada hal-hal yang berkaitan dengan
eksoteris (outside). Ia belum
bergerak menuju esoteris (inside).
Pentingnya kesalehan diri yang bertumpu pada kesadaran diri (esoteris) ini juga
ditemukan dalam bait VIII dengan kutipan sebagai berikut.
Kang aran saleh bagus atine
’Yang disebut orang saleh yaitu orang yang baik hatinya’
Definisi tentang kesalehan adalah seseorang yang
mempunyai kebaikan hati. Frasa Bagus
atine ’baik hatinya’ menandakan bahwa standar ukuran kesalehan terletak
pada kebaikan hati sesorang. Hal ini berarti kesalehan berkait erat dengan
ihwal laku batiniah yang bersifat esoteris. Esoteris berarti kesalehan Islam
yang dipahami melebihi simbol-simbolnya. Kesalehan yang dipahami dalam arti
melebihi segi lahiriyah (syariat),
tetapi memasuki segi yang lebih mendalam, segi realitas tinggi (high reality) yang bersifat batin
(Rachman dalam Chodjim, 2008:vi). Standar ukuran kesalehan tidak bisa hanya
diukur atas keaktifan mengikuti ritual keagamaan saja, misalnya keaktifan salat
berjamaah, penunaian ibadah haji berkali-kali sebagai ekspresi wisata religi dan
ritual ibadah yang terindra lainya, tetapi melebihi ukuran-ukuran standar
ritual keagamaan. Ukuran kesalehan diri tecermin melalui perilaku
sehari-harinya yang mencerminkan kebaikan budi dan hatinya. Ukuran kesalehan
berkait erat dengan pekertinya karena
pekerti merefleksikan kebaikan hati.
Dalam STWGD dibahas anasir-anasir atau unsur-unsur pembentuk kesadaran
diri. Dengan rincian pembahasan sebagai berikut.
4.1.1 Kebersihan
hati dan pikiran
Dalam
ajaran tasawuf terdapat konsep pembersihan sebelum memasuki penahapan selanjutnya.
Penahapan itu berupa pembersihan hati dan pikiran, penahapan ini juga disebut
juga tahap taubat, kembali ke fitrah (Chodjim, 2006:52). Dalam STWGD terdapat
ajaran untuk selalu menjaga kebersihan hati dan pikiran yang terdapat dalam
bait V dan VI dengan kutipan sebagai
berikut.
yen iseh kotor ati akale
(Kalau masih kotor hati dan pikirannya)
mula atine peteng lan nistha
(Maka hatinya gelap dan nista)
Dalam ajaran tasawuf kebersihan hati dan pikiran menjadi
fokus utama. Kata ’akal’ menurut Mustofa (2009:88) terdiri atas pikiran dan
perasaan yang berperan sebagai sumber getaran atau transmitter yang luar biasa besar sekaligus receiver atau penerima getaran dengan kekuatan radar yang peka.
Pikiran dan perasaan akan berfungsi menerima getaran ketuhanan (pesan-pesan
lembut Tuhan) kalau hati dan pikiranya bersih. Dalam ajaran tasawuf seorang salik akan menerima wirid untuk
membersihkan ’kerak hati’ dan ’sampah pikiran’ melalui beragam tirakat. Pikiran
dan hati yang bersih akan senantiasa menerima dan memantulkan nilai-nilai
kebaikan. Sebaliknya, hati dan pikiran yang kotor dan ternoda tidak mampu
merefleksikan nilai-nilai kebaikan. Hal tersebut dalam STWGD disebut dengan ”atine peteng” hati gelap. Hati yang
gelap oleh debu dosa tidak mampu menerima dan memantulkan nilai-nilai kebaikan.
4.1.2 Zuhud
terhadap Dunia
Secara
etimologi, kata al-Zuhd adalah masdar
dari kata zahada atau zahida, Zahada
fi al-syai'I au'anhu berarti raghiba
'anhu artinya meniggalkan dan
tidak menyukai. Zahada fi al-dunya
artinya menjauhkan diri dari kesenangan
dunia untuk beribadah. Orang yang melakukan zuhd
disebut al-Zahid maksudnya orang yang
meninggalkan kesenangan duniawi dan memilih akhirat (A.W. Munawwar, 1984: 626-627)
Chodjim
(2006:152) mendefinisikan zuhud berdasarkan pemahaman surat Yusuf [12]:20,
zuhud mempunyai makna asal dari zahid
ialah orang yang tidak tertarik hatinya terhadap sesuatu. Abu Hasan Al-Syadzili
(dalam Chodjim, 2006:152) mendefinisikan zuhud yaitu upaya untuk menggunakan
hal-ihwal kedunian sekadar untuk memenuhi hajat hidupnya.
Dalam
STWGD terdapat ajaran berlaku zuhud terhadap dunia yang ditemukan dalam bait VI
dengan kutipan lengkapnya sebagai berikut.
gampang kabujuk nafsu
angkara
ing pepahese gebyare donya
(Mudah terbujuk nafsu angkara
Dalam gemerlapnya keindahan dunia)
Wahid
(1974:17) menyatakan bahwa ajaran Islam di Indonesia secara kultural memberi
penekanan pada asketisme (bahasa Arab Al-zuhd,
seringkali dinamai ”kealiman” di negeri ini) yang mewarnai kehidupan agama
Islam di kepulauan nusantara, tidak sebagaimana dinegeri-negeri Arab sendiri
sepanjang sejarahnya. Ajaran zuhud dalam STWGD tercermin dari frasa pepahese gemerlape donya ’gemerlapnya
keindahan dunia’. Bujuk rayu gemerlapnya keindahan dunia adalah akibat dari
ketidakbersihan hati dan pikiran, maka ia mudah terbujuk dan berpaling untuk
meraih gemerlapnya dunia yang semu. Untuk membentengi diri dari jebakan gemerlapnya
keindahan dunia STWGD mengajarkan penunaian laku zuhud dalam hidup sehari-hari.
4.1.3 Kesabaran dan
keikhlasan
Dalam STWGD terdapat ajaran untuk senantiasa menjalani
kesabaran dan keikhlasan ditengah himpitan dan tekanan hidup yang mendera.
Tekanan hidup berupa kekurangan ekonomi, kebutuhan hidup yang tidak terjangkau,
dalam STWGD diajarkan pentingnya laku sabar dan ikhlas dengan kutipan
lengkapnya sebagai berikut.
sabar narima najan pas-pasan
(Sabar dan menerima meskipun (hidupnya) pas-pasan)
Kata
narima secara leksikal berarti ’menerima’ dalam
artian luas tidak hanya sabar dan menyabar-nyabarkan diri, tetapi ada
keikhlasan untuk menerima keadaan hidup. Meskipun sumber hidup (ekonomi;
penghasilan) kurang dan pas-pasan. Frasa sabar
narima mempunyai makna tersirat ajaran untuk menjadi manusia tegar dalam
menghadapi tantangan hidup. Di dalam sifat sabar dan ikhlas terdapat sikap
hidup berani, kuat hati, dan bersemangat (Chodjim, 2006:95). Sabar narima tidak berarti menerima
kekalahan, tetapi adanya daya juang, daya tahan untuk berbuat dan bertindak,
tetap tekun dan ulet untuk mencari ridho-Nya (Chodjim,2006:108)
4.1.4 Keridhoan menerima
keputusan Allah
Dalam
STWGD terdapat ajaran untuk menerima keputusan (takdir) dari Allah. Hal ini
dalam tasawuf lebih dikenal dengan istilah taslim adalah berserah diri secara
total; penyerahan diri secara total, menyadari sepenuhnya kelemahan dan
ketakberdayaan diri. Daya dan kekuatan hanya milik Allah semata. Ajaran ini
tampak dalam kutipan sebagai berikut.
kabeh tinakdir saking Pangeran
(Semua menjadi ketetapan dari Tuhan)
Pemahaman taslim ini akan bisa diterima dan dipahami
apabila kebersihan hati dan pikiran, zuhud, sabar dan ikhlas telah dilakoni dan
terlampaui. Selama masih ada debu kalbu, sikap menuntut terhadap Allah pasti
tetap ada (Chodjim, 2010:255). Alasan tersebut menjadi dasar utama ajaran
menerima ketetapan Allah (taslim) diletakkan paling akhir setelah ajaran-ajaran
yang lain ditunaikan.
Anasir-anasir
diri tersebut dapat dicapai dengan sempurna apabila disertai dengan laku
tirakat. Tirakat akan membentuk pribadi yang berbudi pekerti dan berakhlaqul
karimah. Dalam hal ini, Wahid (1974:74) menyatakan bahwa bertirakat (tirakat)
adalah usaha untuk mencapai keluhuran budi dan jiwa. Secara implisit,
pernyataan ini menegaskan bahwa keluhuran budi dan jiwa tidak akan tercapai,
kecuali dengan tirakat (mesu budi).
Dalam STWGD, ajaran untuk bertirakat terdapat dalam bait XI dengan kutipan
lengkapnya sebagai berikut.
kelawan Allah kang Maha
Suci
kudu rangkulan rina lan
wengi
ditirakati diriyadhahi
zikir lan suluk jo nganti lali
Dengan Allah yang maha suci
Harus berdekapan siang dan malam
Dengan tirakat Dilatih terus menerus
zikir dan suluk jangan pernah lupa
Kata riyadhah
berasal dari bahasa Arab yang berarti excercise
atau latihan. Pangkal katanya yaitu ’RiYaDHaH’. Kata ini belum mengalami proses
adaptasi langsung yang diadopsi dari bahasa Arab. Padanan dalam bahasa Jawa
yaitu kata tirakat yang mempunyai
pangkal kata thariqat atau THaRYQaT yang secara leksikal berarti
’jalan’ (Widodo, 2011). Kata zikir
diserap dari bahasa Arab yang merupakan leksem simpleks dipungut dari bahasa
modelnya ZiKR (Ruskhan, 2007:35) yang mempunyai arti leksikal ’mengingat’.
Kata
suluk berasal dari bahasa arab dengan
kata pangkalnya salaka à yasluku à
sulukan. Secara leksikal
bermakna ‘berjalan’. Dalam KBBI (2002:354) suluk
diartikan (1) jalan ke arah kesempurnaan
batin; tasawuf; tarekat; mistik: (2) pengasingan diri; khalwat (3) nyanyian
(tembang) dalang yag dilakukan ketika akan memulai suatu adegan (babak) dalam
pertunjukan wayang. Dari ketiga arti suluk yang sesuai dengan konteks singiran
STWGD yaitu arti yang pertama (1) jalan ke arah kesempurnaan batin; tasawuf;
tarekat; mistik (Widodo, 2011).
Tirakat,
riyadhah, zikir, suluk merupakan istilah laku tirakat untuk mendekatkan diri
kepada Allah agar senantiasa berpaut siang dan malam rangkulan rina wengine. Biasanya dalam pondok pesulukan (zawiyah)
diajarkan beragam tirakat, amalan, ijazahan, tawajuhan, dan pelbagai tirakat
lainya. Pendek kata, pengetahuan spiritualitas (ketuhanan) dan hakikat spiritualitas
hanya bisa dijembatani melalui jalan tirakat.
4. 2 Kesadaran
sosial
Dalam STWGD tidak hanya mengajarkan kesalehan diri yang
bersifat personal, tetapi juga mengajarkan kesalehan sosial. Kesadaran sosial
akan tumbuh bila ia telah tuntas dalam kesadaran diri. Kesadaran diri sebagai
cikal bakal tumbuh dan berkembangnya sikap sosial. Seorang penempuh jalan
tasawuf (salik) tidak hanya
berorientasi pada realisasi diri saja, tetapi juga mentransformasikan
nilai-nilai ketuhanan dalam spektrum yang lebih luas yakni masyarakat. Nilai
kemanusiaan bisa dipahami ketika semua perilaku lahir dan batinnya
diorientasikan pada Allah dan pada waktu yang sama juga membawa dampak konkret terhadap upaya
meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Pendeknya, manusia tidak bisa dipahami
tanpa keterkaitannya dengan Tuhan dan keterkaitanya dengan manusia lain dalam
kehidupan sosial (Hidayat, 2009:32).
Dalam
STWGD terdapat ajaran untuk mentransformasikan kesadaran diri menuju kesadaran
sosial banyak ditemukan. Hal ini sebagai tanda bahwa anasir-anasir kesalehan
diri telah terlaksana ketika tecermin melalui pekerti dalam masyarakat. Teori
cermin Al-Ghazali (dalam Hidayat, 2009:35) aktivitas kemanusiaan yang tidak
diterangi cahaya keilahian bagaikan orang berjalan di lorong yang gelap.
Sebaliknya, orang yang sekedar percaya kepada Tuhan tanpa menumbuhkan
sifat-sifat agung Tuhan di dalam dirinya bagaikan Iblis.
Untuk
itu dibawah ini akan diuraikan kontribusi ajaran tasawuf dalam pembentukan
pekerti di masyarakat. Kesalehan diri tersebut tecermin melalui sikap sosial
sebagai berikut.
4. 2. 1
Toleransi antarsesama
Seseorang
yang telah memahami dan melakoni ajaran tasawuf pastilah ia mempunyai sikap
sosial menghargai antarsesama meskipun beda keyakinan, beda pemahaman, beda perspektif,
beda aqidah sekalipun ia masih tetap mentolerisasi dan menghargai. Bagi
pemahaman seorang penempuh jalan (salik)
selalu teringat sabda nabi Muhammad Saw: ” barangsiapa yang mengafirkan saudara
yang beragama Islam, justru ialah yang kafir ” (Man Kaffara akhahu musliman fahuwa kafirun) (Wahid, 2003:287). Seorang
yang telah memahami ajaran tasawuf selalu berfokus pada kekafiran yang melekat
dalam dirinya, oleh sebab itu ia selalu menghargai antarsesama. Toleransi
antarsesama tersebut tecermin dalam STWGD pada bait V dengan kutipan sebagai
berikut.
akeh kang apal Quran
Hadise
seneng ngafirke marang liyane
kafire dewe gak digatekke
yen iseh kotor ati akale
(Banyak yang hafal Quran dan Hadist
Senang mengkafirkan orang lain
Kafirnya sendiri tidak diperhatikan
Kalau masih kotor hati dan pikirannya)
4. 2. 2
Rukun terhadap sesama
Seseorang yang merasakan kehadiran Allah di setiap waktu,
memancarkan aura kesejukan dan kedamaian. Hal itu tercermin melalui sikap
sosial yang mengedepankan kerukunan daripada perselisihan. Kerukunan terhadap
sesama merupakan manifestasi dari pancaran kedamaian dalam hati. Perselisihan
adalah cerminan dari kesemrawutan hati. Untuk itu, pribadi yang tersinari
dengan ajaran tasawuf senantiasa menjaga kerukunan kepada teman, saudara,
handai tolan, tetangga, sahabat karib, dan seluruh makhluk hidup tanpa
terkecuali. Rukun terhadap sesama juga disunahkan oleh nabi Muhammad. Dalam
STWGD, sikap sosial rukun terhadap sesama ditemukan dalam bait XIII dengan
kutipan lengkapnya sebagai berikut.
kelawan kanca dulur lan
tangga
kang pada rukun aja daksiya
iku sunahe Rasul
kang mulya
nabi Muhammad panutan
kita
Dengan teman, saudara, dan tetangga
Yang rukun jangan bemusuhan
Itu sunah rasul yang mulia
Nabi Muhammad panutan
kita
4. 2. 3
Larangan iri hati terhadap kekayaan tangga
Tetangga
merupakan komunitas paling dekat setelah institusi keluarga. Ia menjadi saudara
paling dekat keberadaanya. Keharmonisan dan kerukunan terhadap tetangga mutlak
diperlukan karena sebagai modal dasar sistem sosial. Perselisihan dalam
masyarakat bermula dari perselisihan seseorang dengan tetangganya. Akar
perselisihan tersebur berakar dari sifat iri hati terhadap kekayaan tetangga.
Seorang penempuh jalan tasawuf senantiasa menjaga kebersihan hati dan
pikirannya, tercemarnya hati salah satunya dari limbah iri hati. Dalam STWGD
ada larangan melekatnya sifat iri hati terhadap tetangga. Hal tersebut dalam
bait VI larik 23 dengan kutipan sebagai berikut.
iri lan meri sugihe tangga
(Iri hati terhadap kekayaan tetangga)
Munculnya sifat iri hati terhadap kekayaan tetangga
menandakan seorang tersebut belum tuntas dalam pembersihan hati pikiran dan
laku zuhud. Untuk itu, seseorang yang telah tersinari oleh kebersihan hati dan
praktik zuhud mewujud sebagai sosok perekat dan penjaga nilai keharmonisan dan
kerukunan di masyarakat.
4. 2. 4
Memuliakan Sesama
Seseorang yang telah diterangi cahaya kesufian standar
kemuliaan seseorang bukan perkakas yang tampak (performance), melainkan keluhuran budi dan ketaqwaan seseorang.
Karena cara pandang ini, ia selalu memuliakan sesama meskipun ia dari strata
bawah dan rendah segi lahirnya misalnya tukang sapu, pemulung, orang cacat (difable), pelacur, pezina, dan gelar
kenistaan yang disandang manusia lainnya. Ia memuliakan semuanya. Baginya
kemuliaan derajat terletak pada derajat ketaqwaan; derajat kedekatan hamba
kepada khaliqnya. Karena hal ini tidak bisa distandarkan; tidak dapat diukur
melalui identitas yang tampak dan melekat, memuliakan sesama adalah pilihan
bijak. Derajat kemuliaan dan ketaqwaan seseorang hanya Allahlah yang tahu.
Ajaran memulikan sesama dalam STWGD tecermin dalam bait XIV dengan kutipan
sebagai berikut.
Allah kang bakal
ngangkat derajate
senajan asor tata dhahire
ananging mulya maqam derajate
Allah yang akan
mengangkat derajatnya
Meskipun rendah tata lahirnya
Tetapi mulia kedudukannya
5. Insan Kamil
Manunggalnya kesalehan diri dan kesalehan sosial
merupakan terwujudnya sosok paripurna yaitu Insan Kamil. Insan Kamil secara
leksikal berarti manusia yang sempurna, manusia yang mempunyai budi pekerti
luhur, mempunyai akhlaqul karimah
(pekerti mulia). Tugas kenabian Kanjeng
Nabi Muhammad pun untuk membangkitkan makarim
al-akhlaq, budi pekerti mulia, dalam bahasa Inggris disebut noble characteristics atau noble traits of character (Chodjim,
2007:19). Kemulian dan keluhuran pekerti merupakan capaian ‘terluar’ yang
berangkat dari yang ’terdalam’.
Kepurnaan dan kesempurnaan dalam pencapaian penahapan
dalam hidup merupakan pencapain prestasi spiritualitas. seseorang yang telah
mencapai puncak pendakian spiritual, telah mempunyai bekal untuk menghadap Sang
Khaliq. Perjalanan hidupnya telah menemukan Jalan kembali pada-Nya. Dalam STWGD
pentingnya bekal menghadap Allah tercermin dalam bait VII larik 28 dengan
kutipan sebagai berikut baguse sangu
mulya matine ’sebaiknya bekal (dalam menghadapi) mati dengan mulia’. Secara
implisit, ajaran tasawuf mengajarkan pentingnya ’bekal-bekal’ untuk kembali
kepada-Nya. Dalam penutup, STWGD ditutup dengan penegasan ketika jasad dan ruh
terpisah atau meninggal dunia ia mengetahui jalan menghadap Sang Khaliq, perjalanan ruh tidak tersesat
karena ia telah terbiasa meniti jalan tersebut. Tidak heran dalam mistik Jawa
terdapat ungkapan mati sakjeroning urip,
urip sakjeroning mati ’mati di dalam hidup, hidup di dalam mati ’ yang
mencerminkan esensi hidup dan mati dalam derap langkah dan helaan napas yang
beriring.
Pencapaian seseorang terhadap hakikat kehidupan dari asal
hingga akhir seperti itu berarti bahwa Ia telah mengetahui tempat surga yang
sesungguhnya. Cerminan sosok pribadi tersebut pastilah memendarkan nilai-nilai
ketuhanan yang dipancarkan dalam nilai-nilai luhur di masyarakat Penuntasan pencapaian tersebut terdapat dalam
STWGD bait XV
lamun palastra ing pungkasane
ora kesasar ruh lan sukmane
den gadang Allah suwarga manggone
utuh mayite ugo ulese
Ketika ajal telah
tiba pada akhir hayatnya
Tidak tersesat
jiwanya
Dinanti-nanti
Allah di surga tempatnya
Masih utuh jasad
dan kain kafannya
Larik utuh mayite
ugo ulese ’masih utuh jasad dan kain kafannya’ merupakan keistimewaan atau
karamah yang diberikan Allah kepada hamba-hambanya yang telah menemukan jalan
kembali kepada-Nya. Kekaramahan tersebut tidak dapat diminta dan
dicita-citakan. Ia bukan wilayah
pengihtiaran (reach out), melainkan
wilayah pinaringan (given).
Secara hakiki STWGD
mengajarkan hidup dan kehidupan serta menjalani hidup dengan peta yang
digariskan-Nya.
6.
Simpulan
Dari pembahasan dan pemaparan di atas, dapat ditarik
simpulan sebagai berikut.
- Dalam STWGD terdapat ajaran tasawuf dengan empat penahapan yaitu syariat, thareqat, ma’rifat dan hakikat.
- Ajaran tasawuf berfokus pada pembenahan kesadaran diri yang mempunyai empat anasir (1) kebersihan hati dan pikiran, (2) zuhud terhadap dunia, (3) kesabaran dan keikhlasan, dan (4) menerima ketetapan Allah.
- Kesadaran diri yang telah mencapai kematangan tecermin dalam sikap sosial sebagai berikut (1) toleransi antarsesama, (2) rukun terhadap sesama, (3) larangan iri hati terhadap kekayaan tetangga, dan (4) memuliakan sesama.
- Manunggalnya perwujudan kesadaran diri dan kesalehan sosial lahirlah sosok berbudi pekerti atau sosok insan kamil yang mempunyai kesalehan diri dan kesalehan sosial.
Daftar
Pustaka
Alwi, dkk.2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia.Jakarta:Balai Pustaka.
A.W., Munawir.1984. Al-Munawwir:
Kamus Arab- Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren al-Munawwir.
Burhani, Ahmad Najib.2002. Tarekat Tanpa Tarekat. Jakarta: Serambi.
Braginsky.1998. Yang Indah Berfaedah dan Kamal, Sejarah
Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Chasanah, Ida
Nurul.2006.”Tradisi Sufisme dalam Karya-Karya K.H.Mustofa Bisri” dalam majalah Basis Edisi Sufisme.No 03-04, tahun
ke-55, Maret-April.
Chodjim,
Achmad.2007. Mistik dan Makrifat Sunan
Kalijaga. Jakarta: Serambi.
______________.2008.
Syekh Siti Jenar Makna Kematian.
Jakarta: Serambi.
______________.2006.
Rahasia Sepuluh Malam. Jakarta :
Serambi.
______________.2007.
Syekh Siti Jenar Makrifat dan Makna
Kehidupan. Jakarta: Serambi.
Endraswara,
Suwardi.2006.Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta:Pustaka
Widyatama.
Hidayat,
Komaruddin.2009. Psikologi Kematian:
Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme. Jakarta: Hikmah.
Jami, Mawlana
’Abd ar-Rahman.2003.Pancaran Ilahi Kaum
Sufi (terjemahan oleh Kamran As’ad Irsyadi).Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Kadarisman, A.
Effendi.2010. Mengurai Bahasa Menyibak
Budaya. Malang:UIN-Maliki Press.
Kusnadi.2006. ”Seni Singiran dalam Ritual Tahlilan pada Masyarakat Islam Tradisional
Jawa” dalam Jurnal Imaji Vol. 4, No
2, Agustus ’06. FBS UNY.
Mustofa, Agus.2009.Membongkar
Tiga Rahasia.Surabaya:Padma Press.
Ruskhan, Abdul
Gaffar.2007.Bahasa Arab dalam Bahasa
Indonesia; Kajian tentang Pemungutan Bahasa. Jakarta: Grasindo
Salam, Aprinus.2004.Oposisi
Sastra Sufi.Yogyakarta:Lkis
Wahid,
Abdurahman.1974.Bunga Rampai Pesantren:
Kumpulan Karya Tulis Abdurahman Wahid. Jakarta:CV Dharma Bhakti.
________________.2003.
”Ulil Abshar Abdalla dengan Liberalismenya” dalam Abdalla, Ulil Abshar, dkk. Islam Liberal dan Fundamental:Sebuah
Pertarungan Wacana.Yogyakarta:Elsaq press.
Widodo,
Wahyu.2011.”Sinonimi Berepetisi Makna dalam Singiran
Tanpa Waton Gusdur” dalam Sumarlam (Ed). Pelangi Nusantara: Kajian
Variasi Bahasa. (dalam proses penerbitan)
W.M., Abdul Hadi.
2001.Tasawuf Yang
Tertindas, Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri.
Jakarta: Paramadina.